Judul Buku : Ayah... Kisah Buya Hamka
Pengarang : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun Terbit : 2013
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : xxviii + 324 halaman
Saudara Irfan Hamka, putra kelima dari
sepuluh bersaudara putra-putri Buya H. Abdul Malik Karim Amrullah (7
laki-laki, 3 perempuan), dalam usia 70 tahun ingin menerbitkan kembali
sebuah buku dengan judul, Ayah...
Dalam buku ini, saudara Irfan tidak
membahas Buya Hamka sebagai ulama, sastrawan, cendekiawan, atau pemimpin
masyarakat, tetapi mengenang beliau sebagai manusia yang dicintai
istri, anak-anak, keluarga, murid-murid, dan sahabat-sahabatnya.
Kenang-kenangan sepanjang 33 tahun yang penuh peristiwa menarik itu
dimulai sejak dari dia berusia 5 tahun (1948, zaman agresi II) sampai
1981, tahun wafat Buya Hamka. Melalui sudut pandang ini, dimensi pribadi
Buya Hamka lebih kita kenal akrab jadinya.
Buku ini dimulai dengan mengenang tiga
nasihat Buya Hamka yang disampaikan baik kepada jemaah di pengajiannya
atau yang secara khusus datang ke rumah. Lalu, rentetan peristiwa saat
saudara Irfan masih kecil mulai dari ayahnya sebagai pejuang, pindah ke
Jakarta, mengajari anak-anaknya mengaji, hingga metode Buya menurunkan
ilmu silat kepada Irfan, dikisahkan dengan rinci dan memikat yang
ternyata kelak akan sangat terpakai di zaman runtuhnya Orde Lama,
sehingga Irfan terpilih menjadi Komandan Batalyon DI Panjaitan, Laskar
Arif Rahman Hakim dari Angkatan 66.
Cerita berlanjut dengan rekaman
pengalaman perdamaian dengan makhluk halus yaitu jin, yang bukan
main-main. Kemudian disusul cerita perjalanan Buya Hamka naik haji
dengan kapal laut Mae Abeto (1968), lalu perjalanan darat Baghdad-Mekkah
dengan mobil sepanjang 6.000 kilometer yang sungguh mendebarkan.
Yang mengharukan pula adalah kisah-kisah
Ummi Hj. Siti Raham bin Rasul St. Rajo Endah (istri Buya Hamka) dengan
anak-anak dan keluarga. Dikisahkan pula bagaimana kebiasaan Buya membaca
buku dan menulis karangan, serta interaksi dengan umat dan jemaah
masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, yang waktu itu baru selesai didirikan.
Kita akan membaca tentang penahanan paksa Buya selama 2 tahun 4 bulan,
yang merupakan fitnah politik PKI yang keji tanpa bukti (1964), dan
bagaimana Buya menghadapinya. Kisah mengimami shalat jenazah Bung Karno
serta mengantarkan jenazah Mohammad Yamin ke Talawi sangat mengharukan
kita.
Tidak lupa juga diselipkan cerita kucing
berbulu kuning yang setia dan sangat disayang di rumah sampai kucing
tersebut menjadi gaek berumur seperempat abad, dan kelihatan termenung
sedih ketika jenazah Buya dibawa ke pemakaman.
Saya menyampaikan ucapan selamat kepada
adinda Irfan Hamka dengan terbitnya buku ini. Semua yang dituliskan
adinda Irfan ini mengukuhkan kesimpulan kita betapa Buya berjiwa besar,
pemaaf, dan berlapang dadanya beliau, sehingga pantas kita teladani.
Ayah saya, A. Gaffar Ismail, teman
sekelas Buya di Sumatera Thawalib, Parabek, Bukittinggi. Nama panggilan
Buya waktu itu Malik, belum haji belum lagi Hamka. Di perguruan beliau
dikenal sebagai putra ulama terkenal Buya “Dotor” (dalam bahasa Minang
huruf “k”nya tidak dibaca) Karim Amrullah dari Maninjau, sehingga
statusnya sebagai santri, tinggi. Buya A. Karim Amrullah adalah tokoh
Indonesia pertama yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas Al-Azhar (universitas tertua di dunia) pada tahun 1926,
berdua dengan Buya Abdullah Ahmad dari Padang. Tokoh ketiga adalah Etek
Rahmah El Yunusiah dari Diniyah Putri Padang Panjang pada tahun 1957.
Doktor Honoris Causa keempat adalah Buya Hamka pada tahun 1961. Dalam
sejarah Al-Azhar di Cairo, ayah dan anak mendapat gelar Doktor Honoris
Causa barulah dari Indonesia. Malik dua tahun lebih senior dari ayah
saya, dan senioritas di Parabek dihargai.
Malik, yang terkenal bengal, pada suatu
hari memanggil ayah saya, yang disuruh memejamkan mata. Sang junior itu
tentu patuh memicingkan matanya. Malik senior menggosok-gosok telunjuk
ke leher, mengumpulkan daki di ujung jarinya. Sang junior disuruh
membuka mulut. Ayah saya membuka mulut, mata masih tetap terpicing.
Malik memasukkan daki sebesar butir beras ke dalam mulut yang ternganga
itu.
Itulah cerita favorit ayah saya 30-an
tahun kemudian di Pekalongan kepada saya dan adik-adik saya tentang
sahabatnya itu. Ayah saya, yang diusir Belanda dari Minangkabau di tahun
1933 karena keaktivan politik di PERMI, menetap mengajar di Pekalongan,
sampai wafat di tahun 1998, dalam usia 87 tahun. Di Minang beliau
disebut Buya, di Pekalongan mendapat julukan Kiyai. Buya Hamka wafat di
tahun 1981 di Jakarta, dalam usia 73 tahun.
Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran
Hewan dan Peternakan, Bogor (1957-1963) saya mulai menulis, lama-lama
produktif, di Siasat, Kisah, Mimbar Indonesia, Panji Masyarakat, Gema
Islam, dst. Pada suatu tahun, lupa saya persisnya, saya datang ke kantor
Panji Masyarakat, mengenalkan diri kepada Buya Hamka. Buya senang
sekali, melihat anak temannya sekolah di Parabek dulu menulis majalah
yang beliau pimpin. Beliau menunjukkan simpati, apalagi saya suka
sastra. Saya berkenalan dengan putranya Rusjdi, yang kuliah di Fakultas
Sastra.
Sebuah Insiden menarik terjadilah. Saya
menerima kiriman poswesel dari majalah itu untuk honorarium artikel yang
tidak pernah saya tulis. Uang itu dikirimkan kepada seorang penulis,
seorang mahasiswa Fakultas Sastra jurusan Sejarah UGM, nama depannya
mirip dengan nama saya, yaitu Taufik Abdullah, yang dieja dengan huruf
k. Nama saya dieja dengan huruf q. Poswesel yang seharusnya dikirim tata
usaha majalah di Yogya, salah kirim ke Bogor. Belakangan saya ceritakan
salah kirim ini kepada sahabat saya Taufik Abdullah, yang menjadi ketua
LIPI. Saya minta itu direlakan saja, jangan pula saya dituntut di
akhirat nanti. Seingat saya, dia setuju, alhamdulillah.
Tentu perlu dicatat pula, bahwa
kekeliruan tata usaha ini buka karena saya anak dari Kiyai A. Gaffar
Ismail, kawan baik Buya Hamka di Parabek dulu.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
merupakan periode sangat kacau dalam sejarah kita. Presiden Soekarno
membubarkan Majelis Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat yang diplih
secara demokratis, jujur, damai, tak ada penipuan perhitungan suara dan
sebagai gantinya membentuk yang baru tanpa pemilihan umum lalu dia
sendirian menunjuk anggota-anggotanya. Oposisi dibungkam dengan
membubarkan Partai Masyumi dan PSI. Koran-koran tak sehaluan dengan
pemerintah diberangus, antara lain Indonesia Raya, Abadi, dan Pedoman.
Ditetapkanlah garis politik baru
pemerintah, yaitu Demokrasi Terpimpin. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta pecah.
Bung Hatta yang tidak setuju garis politik baru tersebut, mengundurkan
diri sebagai Wakil Presiden. Presiden Soekarno menjadi presiden seumur
hidup, dengan demikian lengkaplah kediktatorannya. Sejumlah tokoh pers
dan politik yang berseberangan, masuk tahanan tanpa proses pengadilan.
Buku-buku yang tak sesuai dengan haluan pemerintah, dilarang. Di
Jakarta, dan Surabaya, berlangsung pembakaran buku.
Ekonomi rakyat morat-marit. Bahan
makanan pokok dicatu dan sukar diperoleh bebas di pasar. Inflasi
membubung tinggi, pada puncaknya mencapai 650%, yang tidak pernah
terjadi dalam sejarah ekonomi Indonesia, maknanya, harga naik setiap
hari. Kemelaratan menjadi-jadi, secara visual tampak kasat mata merata
di mana-mana. Hama pertanian meruyak, panen padi gagal, dengan akibat
wabah kelaparan. Di beberapa tempat, seperti Gunung Kidul, rakyat mati
akibat kelaparan setiap hari. Penduduk desa, yang sawah-sawahnya gagal
panen, migrasi ke kota besar sebagai peminta-minta. Pengemis,
diperkirakan berjumlah antara 5.000-10.000 orang masuk menyebar ke ibu
kota.
Keadaan chaos atau luar biasa berantakan
seperti ini, adalah situasi yang sangat ideal bagi pengusung
Marxisme-Leninisme-Maoisme, dengan wadah partai mereka, di Indonesia
bernama PKI, untuk mencapai tujuan utama ideology mereka, yaitu
merebutkan kekuasaan dengan kekerasan, sebagaimana digariskan dengan
sangat jelas dalam “Kitab Suci” Manifesto Komunis (Mark & Engles,
1848, terbitan Verso, London, 1988, halaman 77).
PKI dua kali berontak di Indonesia (1926
dan 1948), dua kali gagal. Untuk berontak atau kudeta ketiga kalinya,
mereka tidak mau gagal lagi. Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 adalah
periode sangat ideal bagi mereka mempersiapkan dari untuk itu.
Persiapan dilakukan di seluruh lini.
Lini politik, ekonomi, sosial (buruh, tani, pemuda, wanita, mahasiswa,
pelajar), militer, pendidikan, dan seni-budaya, seluruhnya digarap
dengan rencana terperinci, yang akhirnya akan mengerucut pada kudeta 1
Oktober 1965.
Di bidang seni-budaya, organisasi massa
atau ormas PKI yang diserahi tanggung-jawab dalam hal ini adalah Lembaga
Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Lekra tidak berkiprah sendirian.
Dua sekutu utamanya adalah Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), ormas PNI,
dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), ormas Partindo. Penggarapan
ideologisnya adalah penerapan Marxisme-Leninisme-Maoisme dalam seni
melalui faham realisme sosialis, yang dipaksakan kepada seniman-seniman
non-komunis. Penggarapan praktis sehari-hari adalah melakukan berbagai
kegiatan yang mendukung terlaksananya kudeta jangka panjang. Salah satu
di antaranya adalah pembentukan opini di media massa, terutama surat
kabar.
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/3731/resensi_buku_ayah_kisah_buya_hamka#sthash.qu6LPvmN.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar