Minggu, 09 Maret 2014

RESENSI BUKU "AYAH... KISAH BUYA HAMKA"

Judul Buku                               : Ayah... Kisah Buya Hamka
Pengarang                               : Irfan Hamka
Penerbit                                  : Republika Penerbit
Tahun Terbit                             : 2013
Tempat Terbit                           : Jakarta
Tebal                                       : xxviii + 324 halaman

Saudara Irfan Hamka, putra kelima dari sepuluh bersaudara putra-putri Buya H. Abdul Malik Karim Amrullah (7 laki-laki, 3 perempuan), dalam usia 70 tahun ingin menerbitkan kembali sebuah buku dengan judul, Ayah...
Dalam buku ini, saudara Irfan tidak membahas Buya Hamka sebagai ulama, sastrawan, cendekiawan, atau pemimpin masyarakat, tetapi mengenang beliau sebagai manusia yang dicintai istri, anak-anak, keluarga, murid-murid, dan sahabat-sahabatnya. Kenang-kenangan sepanjang 33 tahun yang penuh peristiwa menarik itu dimulai sejak dari dia berusia 5 tahun (1948, zaman agresi II) sampai 1981, tahun wafat Buya Hamka. Melalui sudut pandang ini, dimensi pribadi Buya Hamka lebih kita kenal akrab jadinya.
Buku ini dimulai dengan mengenang tiga nasihat Buya Hamka yang disampaikan baik kepada jemaah di pengajiannya atau yang secara khusus datang ke rumah. Lalu, rentetan peristiwa saat saudara Irfan masih kecil mulai dari ayahnya sebagai pejuang, pindah ke Jakarta, mengajari anak-anaknya mengaji, hingga metode Buya menurunkan ilmu silat kepada Irfan, dikisahkan dengan rinci dan memikat yang ternyata kelak akan sangat terpakai di zaman runtuhnya Orde Lama, sehingga Irfan terpilih menjadi Komandan Batalyon DI Panjaitan, Laskar Arif Rahman Hakim dari Angkatan 66.
Cerita berlanjut dengan rekaman pengalaman perdamaian dengan makhluk halus yaitu jin, yang bukan main-main. Kemudian disusul cerita perjalanan Buya Hamka naik haji dengan kapal laut Mae Abeto (1968), lalu perjalanan darat Baghdad-Mekkah dengan mobil sepanjang 6.000 kilometer yang sungguh mendebarkan.
Yang mengharukan pula adalah kisah-kisah Ummi Hj. Siti Raham bin Rasul St. Rajo Endah (istri Buya Hamka) dengan anak-anak dan keluarga. Dikisahkan pula bagaimana kebiasaan Buya membaca buku dan menulis karangan, serta interaksi dengan umat dan jemaah masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, yang waktu itu baru selesai didirikan. Kita akan membaca tentang penahanan paksa Buya selama 2 tahun 4 bulan, yang merupakan fitnah politik PKI yang keji tanpa bukti (1964), dan bagaimana Buya menghadapinya. Kisah mengimami shalat jenazah Bung Karno serta mengantarkan jenazah Mohammad Yamin ke Talawi sangat mengharukan kita.
Tidak lupa juga diselipkan cerita kucing berbulu kuning yang setia dan sangat disayang di rumah sampai kucing tersebut menjadi gaek berumur seperempat abad, dan kelihatan termenung sedih ketika jenazah Buya dibawa ke pemakaman.
Saya menyampaikan ucapan selamat kepada adinda Irfan Hamka dengan terbitnya buku ini. Semua yang dituliskan adinda Irfan ini mengukuhkan kesimpulan kita betapa Buya berjiwa besar, pemaaf, dan berlapang dadanya beliau, sehingga pantas kita teladani.
Ayah saya, A. Gaffar Ismail, teman sekelas Buya di Sumatera Thawalib, Parabek, Bukittinggi. Nama panggilan Buya waktu itu Malik, belum haji belum lagi Hamka. Di perguruan beliau dikenal sebagai putra ulama terkenal Buya “Dotor” (dalam bahasa Minang huruf “k”nya tidak dibaca) Karim Amrullah dari Maninjau, sehingga statusnya sebagai santri, tinggi. Buya A. Karim Amrullah adalah tokoh Indonesia pertama yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (universitas tertua di dunia) pada tahun 1926, berdua dengan Buya Abdullah Ahmad dari Padang. Tokoh ketiga adalah Etek Rahmah El Yunusiah dari Diniyah Putri Padang Panjang pada tahun 1957. Doktor Honoris Causa keempat adalah Buya Hamka pada tahun 1961. Dalam sejarah Al-Azhar di Cairo, ayah dan anak mendapat gelar Doktor Honoris Causa barulah dari Indonesia. Malik dua tahun lebih senior dari ayah saya, dan senioritas di Parabek dihargai.
Malik, yang terkenal bengal, pada suatu hari memanggil ayah saya, yang disuruh memejamkan mata. Sang junior itu tentu patuh memicingkan matanya. Malik senior menggosok-gosok telunjuk ke leher, mengumpulkan daki di ujung jarinya. Sang junior disuruh membuka mulut. Ayah saya membuka mulut, mata masih tetap terpicing. Malik memasukkan daki sebesar butir beras ke dalam mulut yang ternganga itu.
Itulah cerita favorit ayah saya 30-an tahun kemudian di Pekalongan kepada saya dan adik-adik saya tentang sahabatnya itu. Ayah saya, yang diusir Belanda dari Minangkabau di tahun 1933 karena keaktivan politik di PERMI, menetap mengajar di Pekalongan, sampai wafat di tahun 1998, dalam usia 87 tahun. Di Minang beliau disebut Buya, di Pekalongan mendapat julukan Kiyai. Buya Hamka wafat di tahun 1981 di Jakarta, dalam usia 73 tahun.
Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Bogor (1957-1963) saya mulai menulis, lama-lama produktif, di Siasat, Kisah, Mimbar Indonesia, Panji Masyarakat, Gema Islam, dst. Pada suatu tahun, lupa saya persisnya, saya datang ke kantor Panji Masyarakat, mengenalkan diri kepada Buya Hamka. Buya senang sekali, melihat anak temannya sekolah di Parabek dulu menulis majalah yang beliau pimpin. Beliau menunjukkan simpati, apalagi saya suka sastra. Saya berkenalan dengan putranya Rusjdi, yang kuliah di Fakultas Sastra.
Sebuah Insiden menarik terjadilah. Saya menerima kiriman poswesel dari majalah itu untuk honorarium artikel yang tidak pernah saya tulis. Uang itu dikirimkan kepada seorang penulis, seorang mahasiswa Fakultas Sastra jurusan Sejarah UGM, nama depannya mirip dengan nama saya, yaitu Taufik Abdullah, yang dieja dengan huruf k. Nama saya dieja dengan huruf q. Poswesel yang seharusnya dikirim tata usaha majalah di Yogya, salah kirim ke Bogor. Belakangan saya ceritakan salah kirim ini kepada sahabat saya Taufik Abdullah, yang menjadi ketua LIPI. Saya minta itu direlakan saja, jangan pula saya dituntut di akhirat nanti. Seingat saya, dia setuju, alhamdulillah.
Tentu perlu dicatat pula, bahwa kekeliruan tata usaha ini buka karena saya anak dari Kiyai A. Gaffar Ismail, kawan baik Buya Hamka di Parabek dulu.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) merupakan periode sangat kacau dalam sejarah kita. Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat yang diplih secara demokratis, jujur, damai, tak ada penipuan perhitungan suara dan sebagai gantinya membentuk yang baru tanpa pemilihan umum lalu dia sendirian menunjuk anggota-anggotanya. Oposisi dibungkam dengan membubarkan Partai Masyumi dan PSI. Koran-koran tak sehaluan dengan pemerintah diberangus, antara lain Indonesia Raya, Abadi, dan Pedoman.
Ditetapkanlah garis politik baru pemerintah, yaitu Demokrasi Terpimpin. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta pecah. Bung Hatta yang tidak setuju garis politik baru tersebut, mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup, dengan demikian lengkaplah kediktatorannya. Sejumlah tokoh pers dan politik yang berseberangan, masuk tahanan tanpa proses pengadilan. Buku-buku yang tak sesuai dengan haluan pemerintah, dilarang. Di Jakarta, dan Surabaya, berlangsung pembakaran buku.
Ekonomi rakyat morat-marit. Bahan makanan pokok dicatu dan sukar diperoleh bebas di pasar. Inflasi membubung tinggi, pada puncaknya mencapai 650%, yang tidak pernah terjadi dalam sejarah ekonomi Indonesia, maknanya, harga naik setiap hari. Kemelaratan menjadi-jadi, secara visual tampak kasat mata merata di mana-mana. Hama pertanian meruyak, panen padi gagal, dengan akibat wabah kelaparan. Di beberapa tempat, seperti Gunung Kidul, rakyat mati akibat kelaparan setiap hari. Penduduk desa, yang sawah-sawahnya gagal panen, migrasi ke kota besar sebagai peminta-minta. Pengemis, diperkirakan berjumlah antara 5.000-10.000 orang masuk menyebar ke ibu kota.
Keadaan chaos atau luar biasa berantakan seperti ini, adalah situasi yang sangat ideal bagi pengusung Marxisme-Leninisme-Maoisme, dengan wadah partai mereka, di Indonesia bernama PKI, untuk mencapai tujuan utama ideology mereka, yaitu merebutkan kekuasaan dengan kekerasan, sebagaimana digariskan dengan sangat jelas dalam “Kitab Suci” Manifesto Komunis (Mark & Engles, 1848, terbitan Verso, London, 1988, halaman 77).
PKI dua kali berontak di Indonesia (1926 dan 1948), dua kali gagal. Untuk berontak atau kudeta ketiga kalinya, mereka tidak mau gagal lagi. Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 adalah periode sangat ideal bagi mereka mempersiapkan dari untuk itu.
Persiapan dilakukan di seluruh lini. Lini politik, ekonomi, sosial (buruh, tani, pemuda, wanita, mahasiswa, pelajar), militer, pendidikan, dan seni-budaya, seluruhnya digarap dengan rencana terperinci, yang akhirnya akan mengerucut pada kudeta 1 Oktober 1965.
Di bidang seni-budaya, organisasi massa atau ormas PKI yang diserahi tanggung-jawab dalam hal ini adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Lekra tidak berkiprah sendirian. Dua sekutu utamanya adalah Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), ormas PNI, dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), ormas Partindo. Penggarapan ideologisnya adalah penerapan Marxisme-Leninisme-Maoisme dalam seni melalui faham realisme sosialis, yang dipaksakan kepada seniman-seniman non-komunis. Penggarapan praktis sehari-hari adalah melakukan berbagai kegiatan yang mendukung terlaksananya kudeta jangka panjang. Salah satu di antaranya adalah pembentukan opini di media massa, terutama surat kabar.
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/3731/resensi_buku_ayah_kisah_buya_hamka#sthash.qu6LPvmN.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites