Sebuah pepatah menyebutkan rumahku adalah surgaku. Ungkapan ini menandakan betapa kehadiran rumah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya sebagai tempat berlindung dari teriknya matahari dan terpaan hujan, tetapi juga memberikan kenyamanan bagi para penghuninya.
Memiliki rumah yang nyaman tentunya menjadi dambaan setiap orang. Karenanya perencanaan pembangunan menjadi hal penting yang harus diperhatikan untuk mewujudkan rumah impian. Salah satunya adalah dalam pemilihan bahan bangunan. Misalnya saja untuk pembangunan dinding apakah akan menggunakan batu bata atau memakai batako.
Dr.Ing. Ir. E. Pradipto, Arsitek UGM menyebutkan tidak sedikit orang yang memilih batako untuk dinding rumah. Selain harga yang relatif lebih murah, kontruksi bangunan dengan batako menjadi lebih ringan dan waktu pemasangannya pun jauh lebih cepat dibandingkan batu bata. Karena murah, batako sering digunakan dalam pembangunan rumah-rumah “murah”.
Sayang, sifat bahan beton batako mudah menyimpan panas sehingga menjadikan atmosfer dalam ruang juga terasa panas dan lembab akibat radiasi panas yang dipancarkan. Bahan batako juga bersifat masif sehingga tidak tembus angin.
Kenyataan tersebut mendorong Pradipto, untuk membuat desain batako yang humanis dan memberikan kenyamanan bagi penghuni rumah yang menggunakannya. Batako yang dimaksud mempunyai bentuk bergelombang atau lebih dikenal dengan sebutan batako gedhek.
Pradipto berkisah bahwa ia merasa prihatin melihat pemandangan salah satu daerah percontohan perumnas di kawasan Condongcatur. Kebanyakan perumahan dengan tipe 21 dibangun dengan menggunakan asbes untuk atap dan dindingnya, sedangkan untuk tipe yang lebih besar dikembangkan dengan batako.
“Cukup prihatin kalau lihat kondisinya, yang tinggal di sana kebanyakan kan masyarakat kelas bawah. Kehidupannya saja sudah susah, masih ditambah lagi harus tinggal di rumah yang kurang nyaman. Kalau dibangun dengan asbes dan batako biasa, atmosfer dalam rumah jadi panas sekali. Segi kesehatan kurang diperhatikan. Ya, meskipun efeknya tidak langsung, tapi sekian tahun kemudian akan terasa. Ini yang tidak diperhitungkan,” urainya belum lama ini.
Pria yang mendalami spesialisasi perencanaan bahan dan konstruksi bangunan ini mulai melakukan riset pada tahun 2003. Ia mereka-reka desain batako yang dapat mengurangi efek panas apabila digunakan sebagai bahan penyusun dinding rumah. Pengembangan dilakukan untuk mendapatkan angin yang dapat menerobos ke dalam rumah.
“Setelah mempelajari saat studi di Jerman, ternyata kuncinya ada di angin. Jadi, bagaimana kita manfaatkan angin sebanyak-banyaknya agar bisa menerobos dinding,” tambahnya.
Akhirnya, Pradipto menemukan desain batako yang pas sebagai solusi untuk mengatasi efek panas yang ditimbulkan, yakni dengan bentuk batako bergelombang. Ide itu terinspirasi oleh sistem kerja dinding gedhek atau anyaman bambu yang biasa digunakan untuk dinding rumah tradisional.
“Gedhek ini kan disusun dari bambu yang dianyam sehingga ada rongga-rongga antaranyamannya, tidak tertutup rapat. Melalui rongga ini, angin bisa menerobos masuk ke rumah. Itu yang kemudian saya adopsi,” tuturnya.
Dengan mengembangkan batako berbentuk melengkung atau bergelombang, angin diharapkan dapat menerobos ke dalam rumah. Bentuk batako yang melengkung memungkinkan susunan batako membentuk lubang tembus angin. Namun, tidak secara serta-merta Pradipto mendapatkan desain yang langsung pas saat diaplikasikan di lapangan. Batako yang saat ini telah digunakan di sejumlah tempat, seperti Rumah Budaya Tembi, Bengkel Studio Kayu Jurusan Teknik Arsitektur UGM, dan beberapa perumahan, merupakan desain Pradipto yang ketiga.
Desain pertama dibuat polos, tidak ada lekukan untuk mengunci sehingga sulit saat dipasang. Lantas, Pradipto mencoba membuat desain baru dengan menambahkan sejumlah lekukan untuk kunci di bagian tengah dan pinggir. Desain ini dapat diaplikasikan, tetapi banyaknya lekukan menyebabkan kesulitan pada saat produksi.
“Waktu itu sampai tiga kali membuat model dan akhirnya ditemukan model yang paling pas dengan dibuat kunci di tengah. Bentuk ini paling praktis, sementara dua model awal susah dalam membuat cetakannya, selain itu juga susah kalau dipasang secara manual,” kata Pradipto sambil menunjukkan model-model yang terbuat dari kertas karton sebagai bahan eksperimennya.
Disebutkan oleh pria yang memiliki hobi olahraga bela diri ini, dengan dibuat lekukan atau kunci di bagian tengah, angin yang menerobos bersifat lebih tenang dan tidak terlalu kencang. Secara teoretis, angin yang masuk ke dalam rumah seyogianya tidak melebihi kecepatan 3 km/jam.
“Kalau lebih dari itu bisa masuk angin penghuninya. Dengan model yang saya kembangkan ini, angin yang sifatnya langsung dengan kecepatan kencang bisa dihambat. Angin tidak menerobos langsung, tetapi naik ke atas,” ujarnya.
Setelah mendapat desain yang cocok, Pradipto kemudian bergerak membuat cetakan batako. Cetakan dirakitnya dari bahan besi dan lebih tipis dibandingkan dengan cetakan yang ada di pasaran. Ia memang sengaja mendesain batako dengan ketebalan 5 cm, sedangkan batako pada umumnya memiliki tebal 10 cm. Sementara itu, untuk ukuran panjang dan lebar sama dengan batako lainnya, 20x40 cm.
“Secara dimensi cetakannya sama dengan yang sudah ada di pasaran. Saya tidak mengubah ukurannya, hanya ketebalannya saja yang saya ubah,” imbuh pria kelahiran Wonosari, 29 Oktober 1956 ini.
Mengapa Pradipto mendesain batako dengan ketebalan yang lebih tipis? Ia pun mengurai alasannya. Dari pengalaman yang diperoleh di lapangan, ia melihat para pekerja bangunan atau tukang sering terkendala dalam pemasangan batako saat ketinggian dinding telah lebih dari 1 meter.
“Saya lihat para pekerja bangunan kalau membawa batako dengan tebal 10 cm jika memasang dengan ketinggian lebih dari 1 meter akan kesulitan karena berat. Untuk itu, saya membuat batako yang lebih tipis dengan dimensi tebal ½ dari dimensi tebal batako biasa, jadi lebih ringan. Harapannya dengan sistem konstruksi seperti ini dapat memudahkan pekerja dalam pemasangan batako,” jelasnya.
Konstruksi batako gedhek sebagai dinding rumah telah teruji secara fisikalis dapat mengurangi panas dalam ruangan. Akan tetapi, konstruksi yang bercelah ternyata mengakibatkan rentan masuknya air hujan ke dalam rumah.
“Solusinya yang lengkung sisi luar ditutup atau diplester agar air tidak masuk, sementara yang dibuka yang sisi bagian belakang untuk sirkulasi angin,” katanya.
Pradipto menyebutkan pengalaman yang tidak terlupakan saat pembuatan batako bergelombang ini. Sekitar tahun 2002, saat memulai mencetak batako pertama kali untuk digunakan sebagai dinding teras sebuah asrama 30 kamar di kawasan Condongcatur, Pradipto sempat kehilangan cetakan batakonya.
“Wah, saat itu sempat bingung juga. Setelah selesai, cetakan malah hilang. Lalu saya buat laporan ke polisi, takutnya bakal dijiplak orang karena saat itu belum dipatenkan. Paten baru keluar tahun 2009,” kata Pradipto sembari tertawa mengingat kejadian kala itu.
Meskipun banyak yang berminat, hingga saat ini Pradipto belum memasarkan cetakan batakonya. Ia belum berani melempar ke pasaran karena belum dilakukan uji coba pada aspek ketahanan dan konstruksi.
“Memang belum dilakukan uji stabilitas, baik ketahanan, kekuatan, maupun kesatuan dengan bahan lain. Sekarang baru uji fisikalis saja dan terbukti dengan konstruksi ini mampu mengurangi panas dalam ruangan karena ada jalan untuk sirkulasi angin. Tentunya ke depan setelah semua uji dilakukan, batako ini akan dipasarkan mengingat kebutuhan di masyarakat cukup banyak,” kata pria peraih penghargaan Karya Konstruksi Indonesia 2011 dari Kementerian Pekerjaan Umum RI berkat karyanya dalam mengembangkan rumah bambu sebagai hunian sementara bagi warga korban lahar dingin Merapi di Sudimoro, Magelang.
Kendati belum resmi dipasarkan, tidak sedikit rekanan yang telah memesan batako gedhek ini. “Memang sudah ada beberapa yang minta dibuatkan. Jadi, kami juga melakukan produksi, tapi hanya dalam jumlah terbatas berdasar pesanan saja. Ke depan yang akan kita jual cetakannya,” katanya.
Menurut Pradipto, dengan menggunakan batako gedhek dalam pembuatan rumah atau bangunan dapat menekan anggaran pembangunan secara keseluruhan. Ia memperkirakan biaya bisa ditekan sampai dengan 30 persen secara total hingga pemasangan menjadi sebuah rumah jadi. Bentuk yang melengkung memaksa secara fisik untuk tidak dilakukan finishing.
“Kalau batako biasa ada tambahan biaya karena harus finishing, sedangkan batako ini tidak usah diplester, bentuknya lengkung-lengkung susah untuk diplester. Selain itu, jika diplester lubang untuk memasukkan angin jadi tertutup,” jelas Pradipto. Pradipto memang sosok arsitek yang banyak mengembangkan karya-karya yang membumi. Karya-karyanya selalu menunjukkan keberpihakan kepada kaum strata bawah. Ia banyak mendesain hunian sederhana tanpa mengabaikan konsep kenyamanan penghuninya. “Saya memang concern mengembangkan karya-karya yang memang dibutuhkan grass root. Meski tidak sedikit yang menyepelekan, tetapi itu sudah jadi pilihan saya,” pungkasnya.
Sumber : http://www.ugm.ac.id/id/berita/8886-membangun.rumah.yang.nyaman.dengan.batako.gedhek
0 komentar:
Posting Komentar